Kamis, 03 Maret 2011

Susu Olahan Menyebabkan Asma, Peradangan, dan Osteoporosis

milk2

Media massa dan lembaga kesehatan konvensional selalu menekankan bahwa minum susu adalah baik untuk kesehatan. Tapi tahukah Anda bahwa susu olahan justru menyebabkan asma, alergi, peradangan, dan osteoporosis? Dr. Hiromi Shinya, salah seorang dokter holistik modern yang terkenal dikalangan para gastroenterologist dan ahli bedah seluruh dunia, membeberkan “rahasia” ini kepada kita.

Dr. Shinya, menjabat sebagai Profesor Klinis Pembedahan di Albert Einstein College of Medicine, New York City dan sebagai Kepala Unit Endoskopi Bedah di Beth Israel Medical Centre. Sebagai seorang dokter dengan prestasi yang gemilang di komunitas medis, ia melihat banyak kesalahan-kesalahan dalam standarisasi ilmu pengobatan medis konvensional dan kemudian setelah ia mengadakan banyak pengamatan dan beribu uji klinis pada pasien-pasiennya, ia pun beralih ke metode holistik karena telah mendapati kebenaran dibalik pengobatan secara holistik.

Dr. Shinya mengungkapkan, kesalahan yang sering terlihat di rumah sakit yaitu pasien seringkali diberikan susu dalam diet mereka selama rawat inap. Nutrisi utama yang ditemukan dalam susu adalah protein, lemak, glukosa, kalsium, dan vitamin. Susu memang sangat populer karena mengandung banyak kalsium dan dianggap dapat mencegah osteoporosis.

Namun sesungguhnya, tidak ada makanan lain yang lebih sulit dicerna daripada susu. Kasein, yang membentuk kira-kira 80% dari protein yang terdapat dalam susu, langsung menggumpal menjadi satu begitu memasuki lambung sehingga mencernanya menjadi sangat sulit. Terlebih lagi, dalam susu yang dijual di toko, komponen tersebut telah dihomogenisasi. Homogenisasi berarti meratakan kadar lemak dalam susu dengan cara mengaduknya. Homogenisasi adalah hal yang buruk karena saat susu diaduk, udara ikut tercampur di dalamnya dan mengubah komponen lemak dalam susu itu menjadi zat lemak teroksidasi—yaitu lemak dalam keadaan oksidasi lanjut. Dengan kata lain, susu homogen menghasilkan radikal bebas dan memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi tubuh.

Susu yang mengandung lemak teroksidasi kemudian dipasteurisasi dalam suhu tinggi di atas 100°C. Enzim sangatlah sensitif terhadap panas, dan mulai hancur pada suhu 93,3°C. Dengan kata lain, susu yang dijual di toko bukan saja tidak mengandung enzim-enzim yang berharga, lemaknya juga telah teroksidasi dan kualitas proteinnya berubah akibat suhu yang tinggi. Dapat dikatakan, susu adalah jenis makanan yang terburuk.
Hidup tidak dapat ditopang dengan makanan yang tidak mengandung enzim.

Susu Menyebabkan Peradangan dan Alergi
Dr. Hiromi Shinya pertama kali mengetahui betapa buruknya efek susu bagi tubuh lebih dari 35 tahun lalu, ketika anak-anaknya sendiri menderita dermatitis atopic (radang kulit parah ) pada usia enam atau tujuh bulan.

Sang ibu sudah menuruti segala instruksi yang diberikan oleh dokter anak, tetapi betapapun banyaknya perawatan yang mereka terima, radang kulit anak-anak sama sekali tidak membaik. Lalu, pada usia sekitar tiga atau empat tahun, anak laki-laki dr. Shinya mulai mengalami diare parah. Dan pada akhirnya, dia bahkan mulai mengeluarkan darah bersama kotorannya. Setelah memeriksanya dengan endoskop, ia menemukan bahwa si balita menunjukkan tanda-tanda awal kolitis ulserativa (radang parah dengan tukak di dalam usus besar).

Oleh karena tahu bahwa kolitis ulserativa berhubungan erat dengan makanan seseorang, Dr. Shinya pun memfokuskan pada jenis makanan yang biasa dimakan oleli anak-anaknya. Ternyata, tepat pada saat anak-anaknya mulai menderita dermatitis atopik, istrinya telah berhenti menyusui dan mulai memberi mereka susu di bawah arahan dokter anak. Mereka pun menyingkirkan semua susu dan produk susu dari makanan anak-anak sejak saat itu. Tentu saja setelah itu, kotoran berdarah dan diare, bahkan dermatitis atopik, semuanya menghilang.

Setelah mengalami hal ini, saat menanyakan kepada pasien-pasien Dr. Shinya tentang sejarah kebiasaan makan mereka, ia mulai mengumpulkan daftar lengkap berapa banyak susu dan produk susu yang mereka konsumsi. Menurut data klinisnya, terdapat kemungkinan besar terbentuknya kecenderungan timbulnya alergi dari mengonsumsi susu dan produk-produk susu. Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai alergi baru-baru ini yang melaporkan bahwa jika wanita hamil minum susu, anak-anak mereka cenderung lebih mudah terjangkit dermatitis atopik    .

Selama 30 tahun terakhir di Jepang, jumlah pasien penderita dermatitis atopik dan alergi pollen meningkat secara drastis. Jumlahnya pada saat ini mungkin hampir sebanyak satu dari setiap lima orang. Begitu banyak teori yang berusaha menjelaskan mengapa terjadi peningkatan yang begitu cepat dalam jumlah orang yang menderita alergi, tetapi Dr. Shinya percaya bahwa penyebab paling utama adalah diperkenalkannya susu dalam menu makan siang di sekolah pada awal era 1960-an.

Susu, yang mengandung banyak zat lemak teroksidasi, mengacaukan lingkungan dalam usus, meningkatkan jumlah bakteri jahat dan menghancurkan keseimbangan flora bakteri dalam usus kita. Sebagai akibatnya, racun-racun seperti radikal bebas, hidrogen sulfida, dan amonia diproduksi dalam usus. Penelitian mengenai proses apa saja yang dialami racun-racun ini dan penyakit-penyakit jenis apa saja yang dapat timbul masih berlangsung. Namun, beberapa hasil penelitian melaporkan babwa susu tidak banya menyebabkan berbagai alergi, tetapi juga dihubungkan dengan diabetes pada anak-anak (lihat http://www.sciencenews.org/sn_arc99/6_26_99/fob2.htm).

Minum Susu Terlalu Banyak Menyebabkan Osteoporosis
Dr. Shinya menyatakan, satu kesalahpahaman umum yang terbesar mengenai susu adalah bahwa susu membantu mencegah osteoporosis. Oleb karena jumlah kalsium dalam tubuh kita berkurang seiring dengan usia, kita diberi tahu untuk minum susu yang banyak untuk mencegab osteoporosis. Namun, ini adalah sebuah kesalahan besar. Minum susu terlalu banyak sebenarnya menyebabkan osteoporosis.

Pada umumnya, dipercaya bahwa kalsium dalam susu lebih mudah diserap daripada kalsium dalam makanan-makanan lain seperti ikan kecil, tetapi hal ini tidak sepenuhnya benar.

Kadar kalsium dalam darah manusia biasanya terpatok pada 9-10 mg. Namun, saat minum susu, konsentrasi kalsium dalam darah Anda tiba-tiba meningkat. Walaupun sepintas lalu hal ini mungkin terlihat seperti banyak kalsium telah terserap, peningkatan jumlah kalsium dalam darah ini memiliki sisi buruk. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah tiba-tiba meningkat, tubuh berusaha untuk mengembalikan keadaan abnormal ini menjadi normal kembali dengan membuang kalsium dari ginjal melalui urin. Dengan kata lain, jika Anda mencoba untuk minum susu dengan harapan mendapatkan kalsium, hasilnya sungguh ironis, yaitu menurunnya jumlah kalsium dalam tubuh Anda secara keseluruhan. Dari empat negara susu besar—Amerika, Swedia, Denmark, dan Finlandia—di negara yang banyak sekali mengonsumsi susu setiap harinya, ditemukan banyak kasus retak tulang panggul dan osteoporosis.

Sebaliknya, ikan-ikan kecil dan rumput laut, yang selama berabad-abad dimakan oleh bangsa Jepang dan pada awalnya dianggap rendah kalsium, mengandung kalsium yang tidak terlalu cepat diserap yang meningkatkan jumlah konsentrasi kalsium dalam darah. Terlebih lagi, hampir tidak ada kasus osteoporosis di Jepang selama masa rakyat Jepang tidak minum susu.

Susu yang Dijual di Toko Adalah Lemak Teroksidasi
Setelah minyak, jenis makanan yang paling mudah teroksidasi adalab susu yang dibeli di toko. Sebelum diproses, susu mengandung banyak unsur yang baik. Contohnya, susu mengandung banyak jenis enzim, misalnya enzim yang menguraikan laktosa; lipase, yang menguraikan lemak; dan protease, enzim yang menguraikan protein. Susu dalam wujudnya yang alami juga mengandung laktoferin, yang dikenal memiliki efek antioksidan, anti-peradangan, antivirus, dan pengatur imunitas tubuh.

Namun, susu yang dijual di toko-toko telah kehilangan seluruh sifat baik ini melalui proses pengolahannya. Proses pengolahan susu secara modern adalah sebagai berikut. Pertama-tama, mesin pengisap dihubungkan dengan puting susu sapi untuk memerah susu, yang kemudian disimpan sementara dalam sebuah tangki. Susu segar yang dikumpulkan dari setiap peternakan kemudian dipindahkan ke tangki yang lebib besar lagi, tempat susu itu kemudian diaduk dan dihomogenisasi. Yang sebenarnya terhomogenisasi adalah butiran-butiran lemak yang ditemukan dalam susu segar.

 Susu segar terdiri dari sekitar 4% lemak, tetapi sebagian besar lemak tersebut terdiri dari partikel-partikel lemak yang berbentuk. butiran-butiran kecil. Semakin besar partikel lemak, semakin mudah mereka terapung. Jika susu segar dibiarkan, lemak akan menjadi sebuah lapisan krim di permukaan.

Sebuah mesin yang disebut mesin homogenisasi digunakan, dan secara mekanis partikel-partikel lemak pun dipecah menjadi lebih kecil. Hasil akhirnya adalah susu homogen. Namun, pada saat homogenisasi berlangsung, lemak susu yang terdapat dalam susu segar berikatan dengan oksigen sehingga mengubahnya menjadi lemak terhidrogenisasi (lemak teroksidasi).

Lemak terhidrogenisasi berarti lemak yang telah terlalu banyak teroksidasi, atau dapat dikatakan telah “berkarat”. Seperti halnya semua lemak terhidrogenisasi, lemak dalam susu homogen buruk bagi tubuh.

Pasteurisasi Merusak Enzim Pada Susu
Namun, proses pengolahan susu belum selesai sampai di situ. Sebelum dipasarkan, susu homogen harus dipasteurisasi dengan panas untuk menekan berkembang biaknya berbagai kuman dan bakteri.
Ada 4 cara dasar pasteurisasi bagi susu, yaitu:
  • Pasteurisasi suhu rendah berkelanjutan (LTLT = low temperature long fr’me/suhu rendah waktu lama). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga 62,2°-65°C selama 30 menit. Cara ini biasanya disebut metode pasteurisasi suhu rendah.
  • Pasteurisasi suhu tinggi berkelanjutan (HTLT = high temperature long t/me/suhu tinggi waktu lama). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga lebih dari 75°C selama lebih dari 15 menit.
  • Metode suhu tinggi waktu singkat (HTST = high temperature short time]. Pasteurisasi pada suhu lebih dari 72°C selama lebih dari 15 detik. Cara ini adalah metode pasteurisasi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
  • Pasteurisasi suhu sangat tinggi waktu singkat (UHT = ultra high temperature). Pasteurisasi dengan memanaskan hingga 120°-130°C selama 2 detik (atau hingga 1 50°C selama 1 detik).
Metode yang paling banyak digunakan di dunia adalah proses pasteurisasi suhu tinggi waktu singkat dan suhu sangat tinggi waktu singkat. Enzim sensitif terhadap panas dan mulai terurai pada suhu 48°C. Pada suhu 115°C, enzim sudah hancur seluruhnya. Oleh karena itu, terlepas dari lama waktu yang digunakan dalam pemrosesan, pada saat suhu mencapai 130°C, enzim telah hampir seluruhnya rusak.

Terlebih lagi, jumlah lemak yang teroksidasi meningkat lebih banyak lagi pada suhu sangat tinggi dan suhu tinggi mengubah kualitas protein yang terdapat dalam susu. Sama halnya seperti kuning telur yang lama direbus mudah pecah, perubahan yang serupa pun terjadi pada protein susu. Laktoferin, yang sensitif terhadap panas, juga rusak.

Oleh karena telah dihomogenisasi dan dipasteurisasi, susu yang dijual di supermaket-supermaket di seluruh dunia tidak baik bagi Anda.

Susu Sapi pada Dasarnya Memang untuk Anak Sapi
Dr. Shinya berpendapat bahwa nutrisi yang terdapat dalam susu cocok untuk anak sapi yang tengah berkembang. Yang penting bagi pertumbuhan anak sapi belum tentu berguna bagi rnanusia. Terlebih lagi, dalam dunia alami, hewan yang minum susu hanyalah bayi yang baru lahir. Tidak ada mamalia yang minum susu setelah dewasa (kecuali Homo sapiens). Inilah cara kerja alam. Hanya manusia yang dengan sengaja mengambil susu dari spesies lain, mengoksidasi, dan meminumnya. Ini bertentangan dengan hukum alam.
Di Jepang dan Amerika Serikat, anak-anak didorong untuk minum susu saat makan siang di sekolah karena susu yang kaya nutrisi dianggap baik untuk anak-anak yang tengah tumbuh. Namun, siapa pun yang menganggap bahwa susu sapi dan air susu ibu manusia adalah sama, tentunya sangat salah.
Jika Anda mendata berbagai nutrisi yang ditemukan baik dalam susu sapi maupun dalam AS1, keduanya memang sangat serupa. Nutrisi seperti protein, lemak, laktosa, zat besi, kalsium, fosfor, natrium, kalium, dan vitamin, ditemukan dalam keduanya. Namun, kualitas dan jumlah nutrisi ini sangat berbeda.
Komponen protein utama yang ditemukan dalam susu sapi disebut kasein. Kasein adalah protein yang sangat sulit dicerna dalam sistem pencernaan manusia. Sebagai tambahan, susu sapi juga mengandung bahan antioksidan laktoferin, yang memperkuat fungsi sistem kekebalan tubuh. Namun, laktoferin yang terdapat dalam ASI adalah 0,15% sementara yang terdapat dalam susu sapi hanya 0,01%.
Tampaknya, bayi-bayi yang baru lahir dari spesies yang berbeda membutuhkan jumlah dan rasio nutrisi yang berbeda pula.

Dan bagaimana dengan orang dewasa?
Laktoferin menjadi contohnya. Laktoferin dalam susu sapi terurai dalam asam lambung, maka bahkan jika Anda meminum susu segar yang belum diproses menggunakan suhu tinggi, laktoferin di dalamnya akan terurai dalam lambung. Begitu pula halnya dengan laktoferin yang terdapat dalam ASI. Seorang bayi manusia yang baru lahir dapat menyerap laktoferin dari ASI dengan baik karena lambungnya masih belum berkembang sempurna, dan karena sekresi asam lambungnya hanya sedikit, laktoferin pun tidak terurai. Dengan kata lain, ASI manusia memang tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi oleh manusia dewasa.

Susu sapi, walaupun sebagai susu segar yang masih mentah, bukanlah makanan yang cocok bagi manusia. Kita mengubah susu segar, yang pada dasarnya memang tidak baik bagi kita, menjadi makanan buruk dengan cara homogenisasi dan pasteurisasi pada suhu tinggi. Kemudian, kita memaksa anak-anak kita untuk meminumnya.

Satu masalah lain adalah orang-orang dari kebanyakan kelompok etnis tidak memiliki cukup banyak enzim laktase untuk menguraikan laktosa. Kebanyakan orang memiliki cukup banyak enzim ini pada saat masih bayi, tetapi kemudian berkurang seiring dengan usia.

Pada saat orang-orang ini minum susu, mereka mengalami berbagai gejala seperti perut bergemuruh atau diare, yang merupakan hasil ketidakmampuan tubuh mereka mencerna laktosa. Orang-orang yang benar-benar tidak memiliki laktase atau jumlali enzimnya benar-benar rendah disebut tidak tahan laktosa. Hanya sedikit orang yang benar-benar tidak tahan laktosa, tetapi sekitar 90% dari bangsa Asia; 75°/o dari bangsa Hispanik, Indian Amerika, dan kulit hitam Amerika, begitu pula 60% orang dari berbagai kebudayaan di Mediterania dan 15% masyarakat keturunan Eropa Utara tidak memiliki cukup banyak enzim ini.

Laktosa adalah zat gula yang hanya terdapat dalam susu mamalia. Susu hanya untuk diminum oleh bayi-bayi yang baru lahir. Walaupun banyak orang dewasa yang kekurangan laktase, pada saat baru dilahirkan, semua bayi yang sehat memiliki cukup banyak enzim tersebut untuk kebutuhan mereka. Terlebih lagi, kadar laktosa dalam ASI adalah sekitar 7%, sementara dalam susu sapi hanya 4,5%.

Oleh karena manusia pada saat bayi mampu minum ASI yang kaya akan laktosa tetapi berakhir dengan menghilangnya enzim tersebut setelah dewasa, Dr. Shinya yakin inilah cara alam untuk mengatakan bahwa susu bukan untuk diminum oleh orang dewasa.

Jika memang sangat menyukai rasa susu, sangat disarankan Anda membatasi seringnya mengonsumsi susu, berusaha untuk minum susu yang tidak dihomogenisasi, dan dipasteurisasi pada suhu rendah. Anak-anak dan orang dewasa yang tidak menyukai susu tidak boleh dipaksa untuk meminumnya.

Singkatnya, minum susu tidak bermanfaat baik bagi tubuh.
Sumber: Buku “The Miracle of Enzyme” halaman 97 – 102 dan 127 – 133, oleh Dr. Hiromi Shinya, MD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar